Sabtu, 09 Juni 2018

Menyambut Syawal dengan Jiwa Sadar Politik




 Oleh: Rizki Ulfahadi 

Jika diawal Ramadhan masjid-masjid begitu melimpah untuk sholat tarawih, maka sekarang masjid-masjid sudah tidak seramai itu lagi. Sekarang tidak hanya di waktu tarawih, di banyak masjid terlihat banyak orang yang menetap di masjid untuk beri’tikaf walaupun tetap tidak seramai tarawih.
Diawal-awal Ramadhan mungkin pengurus masjid berpikir bagaimana bisa secepatnya pembangunan masjid dilanjutkan lagi, masjid sudah sempit, harus segera diperluas agar jamaah nyaman sholat. Tapi sekarang mungkin pengurus itu sudah berubah pikiran, masjid lapang dan terlihat begitu luas, tak perlu lagi lah membangun yang lebih besar. Semua hal tersebut mengindikasikan bahwa senja kedamaian Ramadhan akan segera sirna dan fajar Syawal tidak lama lagi  akan terbit.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh makna bagi umat Islam, ada banyak sebutan yang ditempelkan pada bulan ini, ada yang menyebutnya bulan kemuliaan karena nilai ibadah akan dilipatgandakan, bulan pendidikan karena setiap masjid mengadakan kajian dan ceramah, bulan ujian karena di bulan ini kita diuji untuk menahan hawa nafsu dan semua yang tidak bermanfaat dan ada pula yang menyebut bulan kesehatan karena katanya diet yang paling sehat adalah puasa dan selama puasa pula penyakit terbakar. Dengan banyaknya sebutan tersebut menggambarkan bahwa Ramadhan merupakan pelatihan yang kaya tantangan dan perjuangan. Meninggalkan Ramadhan, sudah selayaknya umat Islam keluar dan menyapa syawal dengan menjadi pribadi yang kokoh dan kuat, menjadi pribadi yang siap menghadapi kompleksitas problem dunia modern bersama jiwa dan raga yang sehat.
  Syawal menyambut kita, khusus di Indonesia, tahun ini dia tak datang sendiri, dia berbisik mengabarkan bahwa ia juga membawa tantangan lagi bagi umat Islam, yaitu Pilkada dan Pilpres. Tidak lama setelah Ramadhan berakhir umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua ajang besar demokrasi, dalam menentukan pemimpin di daerahnya masing-masing dan pemimpin negara.
Umat Islam tidak boleh tidak harus berpartisipasi aktif dalam pemilu ini, karena ini akan menyangkut dengan kesejahteraan umat dan bangsa lima tahun ke depan. Kesadaran umat akan pentingnya politik harus kita tumbuhklan, jangan sampai ada yang masih cuek-cuek saja. Setidaknya setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih datang bersaksi ke TPS menyatakan bahwa yang dicoblosnya itulah yang layak naik menjadi pemimpin.
Tokoh jihad Arab di Afghanistan pernah mengatakan, “Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita untuk menjinakkan kita.” Pernyataan ini secara eksplisit menjelaskan kekecewaan atau boleh dikatakan penyesalan -bukan karena jihadnya- seorang jihadis. Tentunya kita berharap hal seperti ini tidak pernah terjadi di Indonesia.
Oleh karena itulah tidak salah juga jika ada yang pernah mengatakan “jihad bersanding politik”, bahkan lebih dari itu kita harus memahamkan bahwa politik adalah jihad, berjihad lewat politik. Ulama dan tokoh bangsa harus bersinergi membuka mata umat tentang –meminjam istilah Jazera- apa dan bagaimana kedudukan politik dalam kerangka iqamatud-dien.   
Momentum Ramadhan seharusnya dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk bersuara lantang dalam memahamkan masyarakat tentang politik. Tidak hanya berkutat tentang penyampaian khilafiyah piqh saja. Masyarakat sangat membutuhkan pendidikan politik. Sehingga kita bisa optimis di pilkada dan pilpres nanti sesuai seperti yang kita harapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar