Oleh: Rizki Ulfahadi
Jika diawal Ramadhan masjid-masjid begitu melimpah untuk sholat
tarawih, maka sekarang masjid-masjid sudah tidak seramai itu lagi. Sekarang
tidak hanya di waktu tarawih, di banyak masjid terlihat banyak orang yang
menetap di masjid untuk beri’tikaf walaupun tetap tidak seramai tarawih.
Diawal-awal Ramadhan mungkin pengurus masjid berpikir bagaimana
bisa secepatnya pembangunan masjid dilanjutkan lagi, masjid sudah sempit, harus
segera diperluas agar jamaah nyaman sholat. Tapi sekarang mungkin pengurus itu
sudah berubah pikiran, masjid lapang dan terlihat begitu luas, tak perlu lagi
lah membangun yang lebih besar. Semua hal tersebut mengindikasikan bahwa senja
kedamaian Ramadhan akan segera sirna dan fajar Syawal tidak lama lagi akan terbit.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh makna bagi umat Islam, ada
banyak sebutan yang ditempelkan pada bulan ini, ada yang menyebutnya bulan kemuliaan
karena nilai ibadah akan dilipatgandakan, bulan pendidikan karena setiap masjid
mengadakan kajian dan ceramah, bulan ujian karena di bulan ini kita diuji untuk
menahan hawa nafsu dan semua yang tidak bermanfaat dan ada pula yang menyebut
bulan kesehatan karena katanya diet yang paling sehat adalah puasa dan selama
puasa pula penyakit terbakar. Dengan banyaknya sebutan tersebut menggambarkan
bahwa Ramadhan merupakan pelatihan yang kaya tantangan dan perjuangan.
Meninggalkan Ramadhan, sudah selayaknya umat Islam keluar dan menyapa syawal
dengan menjadi pribadi yang kokoh dan kuat, menjadi pribadi yang siap
menghadapi kompleksitas problem dunia modern bersama jiwa dan raga yang sehat.
Syawal menyambut kita, khusus di Indonesia,
tahun ini dia tak datang sendiri, dia berbisik mengabarkan bahwa ia juga membawa
tantangan lagi bagi umat Islam, yaitu Pilkada dan Pilpres. Tidak lama setelah
Ramadhan berakhir umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua ajang besar
demokrasi, dalam menentukan pemimpin di daerahnya masing-masing dan pemimpin
negara.
Umat Islam tidak boleh tidak harus berpartisipasi aktif dalam
pemilu ini, karena ini akan menyangkut dengan kesejahteraan umat dan bangsa
lima tahun ke depan. Kesadaran umat akan pentingnya politik harus kita
tumbuhklan, jangan sampai ada yang masih cuek-cuek saja. Setidaknya setiap
warga negara yang sudah memiliki hak pilih datang bersaksi ke TPS menyatakan
bahwa yang dicoblosnya itulah yang layak naik menjadi pemimpin.
Tokoh jihad Arab di Afghanistan pernah mengatakan, “Kita asyik
dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil
menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan
(politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang
bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin
kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat
kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita
untuk menjinakkan kita.” Pernyataan ini secara eksplisit menjelaskan
kekecewaan atau boleh dikatakan penyesalan -bukan karena jihadnya- seorang
jihadis. Tentunya kita berharap hal seperti ini tidak pernah terjadi di
Indonesia.
Oleh karena itulah tidak salah juga jika ada yang pernah mengatakan
“jihad bersanding politik”, bahkan lebih dari itu kita harus memahamkan bahwa
politik adalah jihad, berjihad lewat politik. Ulama dan tokoh bangsa harus
bersinergi membuka mata umat tentang –meminjam istilah Jazera- apa dan
bagaimana kedudukan politik dalam kerangka iqamatud-dien.
Momentum Ramadhan seharusnya dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk
bersuara lantang dalam memahamkan masyarakat tentang politik. Tidak hanya
berkutat tentang penyampaian khilafiyah piqh saja. Masyarakat sangat
membutuhkan pendidikan politik. Sehingga kita bisa optimis di pilkada dan
pilpres nanti sesuai seperti yang kita harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar