Kemuliaan Ramadhan disambut, diisi dan dijalani bahagia oleh umat
Islam di seluruh penjuru bumi. Ekspresi kebahagiaan tersebut juga ditampilkan
dengan wajah keberagaman kultural masyarakatnya. Biasanya daerah-daerah umat
Islam ada tradisi atau kebiasaan tersendiri yang menjadi khas nya dalam
menyambut atau mengisi Ramadhan. Begitupun di Indonesia, Islam di negara kita
ini sangat kental dengan kebudayaan, kata-kata Islam sangat sering kita jumpai
disandingkan dengan Islam. Saking kayanya budaya Indonesia, sampai dimunculkan
istilah “Islam Nusantara” untuk menyebut Islam di Indonesia karena ke-khasan
nya dan tingginya intensitas bersentuhan dengan budaya penduduk setempat.
Bengkulu sebagai
salah satu provinsi di Indonesia juga memiliki keanekaragaman budaya, salah
satu tradisi yang masih terjaga di pelosok bumi raflesia ini dalam menghadapi
Ramadhan adalah “Manggang Sayok”. Manggang Sayok adalah kebiasaan turun temurun
masyarakat Ruson Epek di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko,
Provinsi Bengkulu. Mungkin di daerah lain kebiasaan sejenis ini juga ada, tapi
yang jelas di daerah ini Manggang Sayok sudah menjadi tradisi yang mengakar
lama di tengah masyarakat.
Manggang Sayok merupakan istilah yang sangat sederhana dari bahasa daerah
masyarakat disini. Kata “manggang” dalam bahasa daerahnya berarti
Membakar/memanggang. Sedangkan “sayok” berarti tempurung kelapa. Jadi, Manggang
Sayok adalah membakar tempurung kelapa yang sudah dibelah dua. Dengan cara
melubangi masing-masing belahan sayok itu lalu menyusun ke atas dengan
bantuan sebuah kayu yang sudah dipasang agar susunannya tidak roboh. Jadi kayu
yang sudah dipasang tegak berada di tengah-tengah sayok yang sudah
dilubangi tersebut. Sederhananya, sayok tadi dilubangi agar lubang
tersebut bisa dimasukkan ke kayu yang berdiri menancap di tanah.
Manggang Sayok rutin
dilakukan di malam ke 27 ramadhan, hanya di malam itu saja. Sore hari ramadhan
ke 26 sayok-sayok tadi sudah terlihat berdiri kokoh di depan rumah
penduduk. Di era modernitas saat ini, ketika sayok dibakar banyak juga
yang menghidupkan petasan untuk menambah kemeriahan malam. Tentu kita tidak
berharap dominasi petasan lebih dari manggang sayok.
Jika dilihat sekarang, tradisi ini masih mengakar kuat di tengah
gempuran kemajuan teknologi dunia. Tanpa ada perintah atau komando, masyarakat
dengan sendirinya kolektif melakukan. Tradisi dalam memeriahkan malam-malam
Ramadhan seperti ini harus terus kita jaga dan rawat. Sehingga generasi kita
berikutnya tidak hanya mendengar cerita sejarah, tetapi tetap menjadi pelaku
sejarah. Kita berharap nanti disaat dunia teknologi semakin maju, disaat
dominasi manusia terus berkurang digantikan oleh mesin, tapi manggang sayok ini
masih terjaga eksistensinya. Takbir..
*Oleh: Rizki Ulfahadi
tulisan ini bisa dilihat juga di link di bawah
http://www.nasional.news/2018/06/manggang-sayok-tradisi-ramadhan-masyarakat-ruson-epek-bengkulu.html