Senin, 11 Juni 2018

“Manggang Sayok” Tradisi Ramadhan Masyarakat Ruson Epek Bengkulu




Kemuliaan Ramadhan disambut, diisi dan dijalani bahagia oleh umat Islam di seluruh penjuru bumi. Ekspresi kebahagiaan tersebut juga ditampilkan dengan wajah keberagaman kultural masyarakatnya. Biasanya daerah-daerah umat Islam ada tradisi atau kebiasaan tersendiri yang menjadi khas nya dalam menyambut atau mengisi Ramadhan. Begitupun di Indonesia, Islam di negara kita ini sangat kental dengan kebudayaan, kata-kata Islam sangat sering kita jumpai disandingkan dengan Islam. Saking kayanya budaya Indonesia, sampai dimunculkan istilah “Islam Nusantara” untuk menyebut Islam di Indonesia karena ke-khasan nya dan tingginya intensitas bersentuhan dengan budaya penduduk setempat.
            Bengkulu sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga memiliki keanekaragaman budaya, salah satu tradisi yang masih terjaga di pelosok bumi raflesia ini dalam menghadapi Ramadhan adalah “Manggang Sayok”. Manggang Sayok adalah kebiasaan turun temurun masyarakat Ruson Epek di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Mungkin di daerah lain kebiasaan sejenis ini juga ada, tapi yang jelas di daerah ini Manggang Sayok sudah menjadi tradisi yang mengakar lama di tengah masyarakat.
Manggang Sayok merupakan istilah yang sangat sederhana dari bahasa daerah masyarakat disini. Kata “manggang” dalam bahasa daerahnya berarti Membakar/memanggang. Sedangkan “sayok” berarti tempurung kelapa. Jadi, Manggang Sayok adalah membakar tempurung kelapa yang sudah dibelah dua. Dengan cara melubangi masing-masing belahan sayok itu lalu menyusun ke atas dengan bantuan sebuah kayu yang sudah dipasang agar susunannya tidak roboh. Jadi kayu yang sudah dipasang tegak berada di tengah-tengah sayok yang sudah dilubangi tersebut. Sederhananya, sayok tadi dilubangi agar lubang tersebut bisa dimasukkan ke kayu yang berdiri menancap di tanah.

  Manggang Sayok rutin dilakukan di malam ke 27 ramadhan, hanya di malam itu saja. Sore hari ramadhan ke 26 sayok-sayok tadi sudah terlihat berdiri kokoh di depan rumah penduduk. Di era modernitas saat ini, ketika sayok dibakar banyak juga yang menghidupkan petasan untuk menambah kemeriahan malam. Tentu kita tidak berharap dominasi petasan lebih dari manggang sayok.
Jika dilihat sekarang, tradisi ini masih mengakar kuat di tengah gempuran kemajuan teknologi dunia. Tanpa ada perintah atau komando, masyarakat dengan sendirinya kolektif melakukan. Tradisi dalam memeriahkan malam-malam Ramadhan seperti ini harus terus kita jaga dan rawat. Sehingga generasi kita berikutnya tidak hanya mendengar cerita sejarah, tetapi tetap menjadi pelaku sejarah. Kita berharap nanti disaat dunia teknologi semakin maju, disaat dominasi manusia terus berkurang digantikan oleh mesin, tapi manggang sayok ini masih terjaga eksistensinya. Takbir.. 

*Oleh: Rizki Ulfahadi 
tulisan ini bisa dilihat juga di link di bawah 
http://www.nasional.news/2018/06/manggang-sayok-tradisi-ramadhan-masyarakat-ruson-epek-bengkulu.html 

Sabtu, 09 Juni 2018

Menyambut Syawal dengan Jiwa Sadar Politik




 Oleh: Rizki Ulfahadi 

Jika diawal Ramadhan masjid-masjid begitu melimpah untuk sholat tarawih, maka sekarang masjid-masjid sudah tidak seramai itu lagi. Sekarang tidak hanya di waktu tarawih, di banyak masjid terlihat banyak orang yang menetap di masjid untuk beri’tikaf walaupun tetap tidak seramai tarawih.
Diawal-awal Ramadhan mungkin pengurus masjid berpikir bagaimana bisa secepatnya pembangunan masjid dilanjutkan lagi, masjid sudah sempit, harus segera diperluas agar jamaah nyaman sholat. Tapi sekarang mungkin pengurus itu sudah berubah pikiran, masjid lapang dan terlihat begitu luas, tak perlu lagi lah membangun yang lebih besar. Semua hal tersebut mengindikasikan bahwa senja kedamaian Ramadhan akan segera sirna dan fajar Syawal tidak lama lagi  akan terbit.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh makna bagi umat Islam, ada banyak sebutan yang ditempelkan pada bulan ini, ada yang menyebutnya bulan kemuliaan karena nilai ibadah akan dilipatgandakan, bulan pendidikan karena setiap masjid mengadakan kajian dan ceramah, bulan ujian karena di bulan ini kita diuji untuk menahan hawa nafsu dan semua yang tidak bermanfaat dan ada pula yang menyebut bulan kesehatan karena katanya diet yang paling sehat adalah puasa dan selama puasa pula penyakit terbakar. Dengan banyaknya sebutan tersebut menggambarkan bahwa Ramadhan merupakan pelatihan yang kaya tantangan dan perjuangan. Meninggalkan Ramadhan, sudah selayaknya umat Islam keluar dan menyapa syawal dengan menjadi pribadi yang kokoh dan kuat, menjadi pribadi yang siap menghadapi kompleksitas problem dunia modern bersama jiwa dan raga yang sehat.
  Syawal menyambut kita, khusus di Indonesia, tahun ini dia tak datang sendiri, dia berbisik mengabarkan bahwa ia juga membawa tantangan lagi bagi umat Islam, yaitu Pilkada dan Pilpres. Tidak lama setelah Ramadhan berakhir umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua ajang besar demokrasi, dalam menentukan pemimpin di daerahnya masing-masing dan pemimpin negara.
Umat Islam tidak boleh tidak harus berpartisipasi aktif dalam pemilu ini, karena ini akan menyangkut dengan kesejahteraan umat dan bangsa lima tahun ke depan. Kesadaran umat akan pentingnya politik harus kita tumbuhklan, jangan sampai ada yang masih cuek-cuek saja. Setidaknya setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih datang bersaksi ke TPS menyatakan bahwa yang dicoblosnya itulah yang layak naik menjadi pemimpin.
Tokoh jihad Arab di Afghanistan pernah mengatakan, “Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita untuk menjinakkan kita.” Pernyataan ini secara eksplisit menjelaskan kekecewaan atau boleh dikatakan penyesalan -bukan karena jihadnya- seorang jihadis. Tentunya kita berharap hal seperti ini tidak pernah terjadi di Indonesia.
Oleh karena itulah tidak salah juga jika ada yang pernah mengatakan “jihad bersanding politik”, bahkan lebih dari itu kita harus memahamkan bahwa politik adalah jihad, berjihad lewat politik. Ulama dan tokoh bangsa harus bersinergi membuka mata umat tentang –meminjam istilah Jazera- apa dan bagaimana kedudukan politik dalam kerangka iqamatud-dien.   
Momentum Ramadhan seharusnya dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk bersuara lantang dalam memahamkan masyarakat tentang politik. Tidak hanya berkutat tentang penyampaian khilafiyah piqh saja. Masyarakat sangat membutuhkan pendidikan politik. Sehingga kita bisa optimis di pilkada dan pilpres nanti sesuai seperti yang kita harapkan.