Minggu, 12 Agustus 2018

Demokrasi Politik Adalah Mediokrasi





Oleh: Kuntowijoyo

Demokrasi politik yang bertumpu kepada jumlah suara tidak mempedulikan kualitas. Demokrasi politik lebih memerlukan pemimpin dengan kecerdasan rata-rata. Dengan kata lain, demokrasi politik adalah “mediokrasi” (mediocre artinya rata-rata) lebih daripada “meritokrasi” (merit artinya berharga). Demokrasi politik yang sebenarnya dapat berkembang jadi ideology egalitarianism, tetapi oleh mediokrasi disusutkan jadi semata-mata fanatisme massa yang irrasional, kepercayaan pada mitos dan dukungan berkobar-kobar untuk tokoh kharismatik. Kita khawatir bahwa dengan demokrasi politik semacam itu umat pun akan jatuh ke tangan mediokrat, lebih jauh lagi, umat menjadi massa yang irrasional.
Dalam mediokrasi orang tidak perlu belajar banyak untuk menjadi pemimpin. Orang hanya harus belajar retorika untuk membujuk, agitasi untuk memanas-manasi hati, dan sedikit pengetahuan sehingga orang lain akan terkesan akan kecerdasannya. Demokrasi politik memang tidak memerlukan masyarakat yang dapat menghargai orang yang punya otoritas di bidangnya. Yang diperlukan ialah suara. Sama saja harganya suara seorang buta huruf dengan suara professor.
Kiranya umat lebih memerlukan meritokrasi. Ungkapan “beriman/bertaqwa dan menguasai iptek” merujuk pada meritokrasi. Bisa dibayangkan kalau pemimpin umat adalah hanya kaum mediokrat, pasti umat akan mundur. Ide kemajuan (the idea of progress) yang telah menggerakkan Budi Utomo dan Muhammadiyah pada awal abad ke-20 akan lenyap tanpa meritokrasi, yang kita butuhkan adalah adanya creative minority. Creative minority ialah orang yang selalu berada di garis depan. Arnold J. Toynbee mengatakan bahwa untuk maju sebuah peradaban memerlukan creative minority. Dalam masyarakat modern dengan macam-macam spesialisasi tidak ada seorang individual pun yang menguasai banyak bidang sekaligus. Creative minority akan lebih tersebar sebagai pemimpin di bidangnya. Mujaddid, mujtahid, mufassir, sufi, filosof, negarawan, ulama, ilmuan, seniman, dan dermawan dapat menjadi creative minority itu.
Sementara kita menyambut dengan baik demokrasi politik, umat tidak boleh terjebak dalam mediokrasi dan irrasionalisme. Untuk meneruskan mobilitas social-budaya dan menumbuhkan meritokrasi kita perlu SDM yang memadai. Adapun creative minority itu dilahirkan, tidak melalui rekayasa pendidikan. Karena itu, sejarah itu tidak sepenuhnya rasional, selalu saja ada gejala yang berlaku diluar ramalan. Disini peranan sangat penting, doa kolektif agar Tuhan menurunkan lebih banyak creative minority di antara umat. Disitu diantaranya letak misteri sejarah, waktu campur tangan Tuhan sangat diperlukan.
Tetapi, yang bisa kita kerjakan ialah rekayasa melalui pendidikan dan dakwah. Karenanya, apa yang dikerjakan Nurcholish Madjid dengan Paramadina-nya dan banyak lembaga lainnya sudah on the right track. Ketika Soekarno masuk penjara tahun 1930-an, maka untuk mencapai Indonesia merdeka, Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI-baru yang berorientasi pendidikan. Ketika Masyumi dibubarkan pada tahun 1960, Engkin Zainal Abidin mendirikan UNISBA di Bandung dan Nukman Sulaiman mendirikan Universitas Jam’iyyatul Wasliyah di Medan.
Dari politik ke pendidikan, dari orientasi kekuasaan ke penyiapan SDM.
20 November 1999
             

Sabtu, 04 Agustus 2018

Islam Nusantara




Kita diajarkan untuk menerima kebenaran dari siapapun datangnya. 
Kebencian kita terhadap seseorang bisa membuat kita untuk menutup diri dari kemungkinan kebenaran yang datang darinya.

Berhentilah membenc..

Ketidaksukaan atau bahkan mungkin memang kebencian terhadap pengusung ide tersebut, tidak lantas membuat kita menolak gagasan cemerlang itu secara gamblang saja tanpa penelaahan yang lebih jauh.

Bagi saya, Islam nusantara adalah sebuah konsep gagasan mulia untuk keislaman, keindonesian dan kemanusiaa.

Ciputat, 4 Agustus 2018 M