Oleh: Kuntowijoyo
Demokrasi politik yang bertumpu kepada jumlah suara tidak
mempedulikan kualitas. Demokrasi politik lebih memerlukan pemimpin dengan
kecerdasan rata-rata. Dengan kata lain, demokrasi politik adalah “mediokrasi” (mediocre
artinya rata-rata) lebih daripada “meritokrasi” (merit artinya
berharga). Demokrasi politik yang sebenarnya dapat berkembang jadi ideology egalitarianism,
tetapi oleh mediokrasi disusutkan jadi semata-mata fanatisme massa yang
irrasional, kepercayaan pada mitos dan dukungan berkobar-kobar untuk tokoh
kharismatik. Kita khawatir bahwa dengan demokrasi politik semacam itu umat pun
akan jatuh ke tangan mediokrat, lebih jauh lagi, umat menjadi massa yang
irrasional.
Dalam mediokrasi orang tidak perlu belajar banyak untuk menjadi
pemimpin. Orang hanya harus belajar retorika untuk membujuk, agitasi untuk
memanas-manasi hati, dan sedikit pengetahuan sehingga orang lain akan terkesan
akan kecerdasannya. Demokrasi politik memang tidak memerlukan masyarakat yang
dapat menghargai orang yang punya otoritas di bidangnya. Yang diperlukan ialah
suara. Sama saja harganya suara seorang buta huruf dengan suara professor.
Kiranya umat lebih memerlukan meritokrasi. Ungkapan “beriman/bertaqwa
dan menguasai iptek” merujuk pada meritokrasi. Bisa dibayangkan kalau pemimpin
umat adalah hanya kaum mediokrat, pasti umat akan mundur. Ide kemajuan (the
idea of progress) yang telah menggerakkan Budi Utomo dan Muhammadiyah pada
awal abad ke-20 akan lenyap tanpa meritokrasi, yang kita butuhkan adalah adanya
creative minority. Creative minority ialah orang yang selalu
berada di garis depan. Arnold J. Toynbee mengatakan bahwa untuk maju sebuah
peradaban memerlukan creative minority. Dalam masyarakat modern dengan
macam-macam spesialisasi tidak ada seorang individual pun yang menguasai banyak
bidang sekaligus. Creative minority akan lebih tersebar sebagai pemimpin
di bidangnya. Mujaddid, mujtahid, mufassir, sufi, filosof, negarawan,
ulama, ilmuan, seniman, dan dermawan dapat menjadi creative minority itu.
Sementara kita menyambut dengan baik demokrasi politik, umat tidak
boleh terjebak dalam mediokrasi dan irrasionalisme. Untuk meneruskan mobilitas social-budaya
dan menumbuhkan meritokrasi kita perlu SDM yang memadai. Adapun creative
minority itu dilahirkan, tidak melalui rekayasa pendidikan. Karena itu,
sejarah itu tidak sepenuhnya rasional, selalu saja ada gejala yang berlaku
diluar ramalan. Disini peranan sangat penting, doa kolektif agar Tuhan
menurunkan lebih banyak creative minority di antara umat. Disitu diantaranya
letak misteri sejarah, waktu campur tangan Tuhan sangat diperlukan.
Tetapi, yang bisa kita kerjakan ialah rekayasa melalui pendidikan
dan dakwah. Karenanya, apa yang dikerjakan Nurcholish Madjid dengan
Paramadina-nya dan banyak lembaga lainnya sudah on the right track. Ketika Soekarno
masuk penjara tahun 1930-an, maka untuk mencapai Indonesia merdeka, Hatta dan
Sjahrir mendirikan PNI-baru yang berorientasi pendidikan. Ketika Masyumi
dibubarkan pada tahun 1960, Engkin Zainal Abidin mendirikan UNISBA di Bandung
dan Nukman Sulaiman mendirikan Universitas Jam’iyyatul Wasliyah di Medan.
Dari politik ke pendidikan, dari orientasi kekuasaan ke penyiapan
SDM.
20 November 1999